Tak disangka, Kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan Instalasi Pengolahan Sampah Terpadu (IPST) di Dusun Toisapu Desa Hutumuri Kecamatan Leitimur Selatan (Leitisel) bermasalah.

Pemkot diklaim salah beli dan membayar kepada orang yang bukan pemilik lahan yang sah. Aneh bin ajaib, pemerintah kota yang punya wilayah saja kedapatan amburadul soal administrasi pertanahan.

Areal TPA berdasarkan pengakuan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, pada 2006 sudah dibebaskan 5 Ha. Dimana 3,1 Ha sudah diselesaikan dengan keluarga Lesiasol dan 1,9 Ha diselesaikan dengan keluarga Sarimanella.

Untuk lokasi 3,1 Ha sudah ada sertifikat hak milik Pemkot Ambon tahun 2006. Begitupun lokasi 1 Ha pada 2014 juga diselesaikan dengan keluarga Sarimanella dan sudah ada sertifikatnya.

Tapi, tiba-tiba pada Rabu 7 Oktober 2020, muncul Enne Kailuhu yang mengklaim pemilik lahan yang sah dari areal TPA/IPST itu. Kemunculan Enne Kailuhu  tentu mengguncang publik Kota Ambon.

Baca Juga: Keseriusan Polisi Usut Kejahatan Lahan Perpustakaan

Enne muncul dengan gerakan tambahan menutup IPST. Penutupan lahan IPST oleh pihak Enne dikarenakan mereka menilai ada perjanjian pemkot dengan pihak keluarga yang belum dilaksanakan.

Untuk perjanjian itu, walikota akui pemkot butuh lahan 10 Ha dan sudah bebaskan 1 hektar sebagai tanda komitmen. Namun pada saat  kesepakatan itu, ternyata di tahun 2014 Kementerian Kehutanan sudah menetapkan lokasi itu sebagai hutan lindung.

Kata Walikota, hutan lindung tidak boleh ada transaksi jual beli, namun karena ada kepentingan untuk bisa dimanfaatkan demi kepentingan umum, pemkot mengupayakan untuk dua kemungkinan. Kemungkinan pertama bisa dapatkan ijin pakai dari kementerian, namun tidak bisa beri kompensasi kepada pemiliknya. Kemungkinan kedua merubah status dari hutan lindung menjadi hutan lindung pemanfaatan lain (HPL).

Pernyataan walikota mendapat reaksi keras dari Enne selaku pemilik lahan hak ulayat yang sah. Kuasa Hukum Enne yakni Dany Manuhuttu mempertanyakan kapan lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan lindung.

Hal itu dikarenakan pada 1984 areal IPST/TPA sudah diukur pihak BPN. Bagi Manuhutu, kalaupun kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung, mengapa Raja Hutumuri maupun Camat Leitimur Selatan serta pihak keluarga pemilik lahan tidak mengetahuinya.

Manuhutu dan pemilik lahan menilai walikota sengaja ingin merubah opini masyarakat terkait dengan lahan TPA dan IPST untuk menghindari pembayaran kepada pemilik lahan yang sah.

Disisi lain, untuk memperkuat dugaan pemilik lahan yang sah terkait status hutan lindung yang melekat pada areal TPA/IPST Toisapu, Dinas Kehutanan Provinsi Maluku mengklaim areal tersebut bukan hutan lindung.

Tentu alasan Dishut Maluku berdasarkan data peta blok Nomor 854, dimana dalam peta tersebut, areal IPST/TPA bukan masuk kawasan hutan lindung. Dishut Provinsi Maluku menyebut kalau areal IPST/TPA merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) sehingga tidak ada urusan dengan Kementerian Kehutanan RI di Jakarta.

Kita berharap, Pemkot Ambon menggunakan hati nurani dalam menyelesaikan hak-hak pemilik lahan IPST/TPA di Dusun Toisapu. Meskipun lahan yang diatasnya terdapat aktivitas persampahan itu demi kepentingan publik, tetapi hak-hak orang atau pemilik lahan juga harus diutamakan agar rakyat tidak merugi. (**)